-DE1E47B53D213154CA1B70C159A120A0
Kamis, 24 Februari 2011

tertawa yang melawan lupa

Tertawa yang Melawan Lupa
Rabu, 2 Juni 2010 | 21:44 WIB

Oleh: Muhammadun*

Judul : Urip Mung Mampir Ngguyu: Telaah Sosiologis Folklor Jogja
Penulis : Sidik Jatmiko
Penerbit : Kanisius, Yogyakarya
Cetakan : I, 2010
Tebal : 231 halaman

Folklor merupakan sebagian kebudayaan (sub-kultur) suatu yang kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memori device). Folklore menjadi salah satu bilik peradaban yang berkembang luas di kalangan masyarakat Jogja. Salah satu faktornya adalah kenyataan bahwa folklore selain sebagai lelucon ternyata juga dapat berfungsi sebagai kritik social maupun melepaskan gerakan perlawanan melalui permainan kata. Hubungan antara folklore sebagai subkultur dengan Jawa kultur dapat dianalogikan dengan hubungan antara system social masyarakat dan subsistemnya yang beraneka ragam. Karena hubungannya yang demikian, maka untuk memahami hakekat folklore dan lelucon Jogja, tidaklah mungkin melepaskannya dari sosiologisme humor masyarakat Jawa.

Untuk membedah folklore dalam sosiologisme masyarakat Jogja, buku bertajuk “Urip Mung Mampir Ngguyu: Telaah Sosiologis Folklor Jogja” memberikan daya jelajah ihwal melihat folklore sebagai salh satu bilik kritik social yang berkembang luas dari Kota Gudeg ini. Mengapa perlu kita mempelajari folklore Jogja? Sebab utama adalah folklore mengungkapkan kepada kita, secara sadar atau tidak sadar, bagaimana masyarakat berfikir sekaligus mengabadikan apa-apa yang dirasa penting (dalam suatu masa) oleh folk (masyarakat) pendukungnya. Atau dengan kata lain, folklore Jogja merupakan penanda dan petanda untuk menjelaskan dan memahami kondisi psikologis dan social-politik dari masyarakat penggunanya. Folklore Jogja sekaligus merupakan cermin bagi masyarakat Jogja untuk melihat dirinya sendiri (hal. 36).

Sebelum memahami mendalam ihwal Folklor Jogja, penulis membedah dibalik kata Folklor itu sendiri. Meminjam analisis Jan Harold Brauvand, Folklor dapat digolongkan menjadi tiga. Pertama, folklor lisan, bentuknya murni lisan, antara lain bahasa rakyat (seperti logat, julukan, pangkat tradisional); pangkat tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pameo; pertanyaan tradisional, seperti teka-teki; puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, syair, dongeng; dan nyanyian rakyat. Kedua, folklore sebagian lisan, adalah yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dengan bukan lisan, antara lain: kepercayaan rakyat, teater rakyat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain. Ketiga, folklore bukan lisan, antara lain berupa bentuk rumah, pakaian, gerak, bunyi isyarat, dan lain-lain (hal. 33).

Berbagai istilah dan cerita lucu dalam buku ini sebagian di antaranya dikategorikan sebagai golongan folklore lisan dan folklore sebagian lisan, khususnya yang berkenaan dengan bahasa rakyat. Yang dapat dikategorikan sebagai bahasa rakyat adalah logat (dialek) Jogja-ngarai (daratan rendah); Jogja NgGunung (Anggun= Anak gunung); dialek Jawa Banyumasan, Cirebonan, Jawa Timuran, yang semuanya mewarnai khazanah bahasa harian rakyat Jogja. Bentuk lain dari bahasa rakyat adalah slang atau prokem, yang asli (mula pertamanya) adalah bahasa yang hanya diketahui kalangan/kolektif khusus. Maksud diciptakannya bahasa slang, prokem adalah untuk menyamarkan arti bahasanya bagi orang luar. Cara ini sering pula disebut sebagai bahasa rahasia (cant).

Fakta bahwa folklore, plesetan, humor, guyonan, pasemon yang berisi kritik keras dan tajam, sebagaimana muncul dalam adegan “Gara-gara” atau “Limbuk-Cangik” pada pewayangan, menunjukkan kenyataan bahwa manusia Jawa memiliki mekanisme unik dalam merespon ketidakadilan system social dan ekonomi yang silih berganti diproduksi berbagai penguasa yang ada. Semuanya itu kemudian menjadi bentuk oposisi simbolik yang bersifat cultural dalam masyarakat Jawa. Humor bisa jadi adalah manifestasi dari kenyataan pahit atas ketidakadilan yang dalam banyak kasus justru bisa sangat kronis keadaannya. Bahkan plesetan dan humor Jawa secara halus merupakan “konsolidasi” perlawanan secara simbolik (hal. 58).

Selain folklore, Jogja hadir lewat folklorenya yang kritis juga disebabkan hadirnya beragam mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar negeri. Para mahasiswa menjadi genesis sendiri dalam gerakan social di Jogja. Mereka bukan warga Jogja, tetapi secara substansial, mereka selalu memperjuangkan hak-hak masyarakat Jogja. Mereka telah menjadi metamorfosis yang telah menyatu dalam denyut nadi Jogja. Mereka menuangkan plesetan folklorenya melalui media graffiti di tembok jembatan hingga kamar kecil, kaos oblong politik karikatur, dan lainya. Simbol perlawanan lewat plesetan dan folklore yang disuarakan mahasiswa bukan sekedar untuk mengkritik kebijakan local Jogja, bahkan sampai tingkat nasional sekalipun tak luput dati kritik mereka.

Herbert Marcuse mengatakan bahwa fungsi actual seni bagi kehidupan masyarakat bukan dilihat dari derajat popularitas, tetapi dilihat dari visi penegakan demokrasi egaliter (hal. 61). Ben Andersen melihat bahwa sejak lama massa rakyat kecil “tanpa otot” politik sebenarnya telah memiliki berbagai siasat melawan penguasa, tanpa kekerasan. Massa pengguna plesetan dan humor mampu melempar cemoohan politik dan melakukan “politik picisan” untuk mengkaji ulang politik modern beridentitas adiluhung kalangan elite yang (sedang) berkuasa. (hal. 63).

Folklore yang berisikan tawa, humor, plesesan, dan guyonan lainnya ternyata bukan sekedar ngguyu (tawa) saja, melainkan sebuah simbol melawan lupa atas segala kelalaian kita menegakkan keadilan dan kebenaran.